Kamis, 02 Januari 2014
no image


Keraton atau Kesultanan adalah institusi yang tidak saja melestarikan budaya bangsa yang penuh kemusyrikan dan aneka kemunkaran lainnya, tetapi juga melestarikan budaya bangsa yang dikaterogikan sebagai perbudakan, melalui ‘budaya luhur’ abdi dalem. 
Peminat menjadi abdi dalem tidak sedikit. Bahkan harus ngantri segala. Mereka beranggapan menjadi abdi dalem sebagai pengabdian kepada Sultan dan Keraton Jogja, selain juga untuk ngalap berkah (mengharap berkah) mereka merasa keberkahan itu benar-benar menghampiri. Misalnya, salah seorang abdi dalem yang berprofesi ganda sebagai penjual cendol, sebelum menjadi prajurit Keraton Jogja mengaku pendapatanya per hari rata-rata Rp 11.000 (sebelas ribu rupiah), namun sejak menjadi prajurit pendapatannya justru meningkat hingga mencapai Rp 17.000 hingga Rp 20.000 per hari. Begitu  menurut pengakuannya.
Dari sudut pandang Islam, budaya abdi dalem sama sekali jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, oleh karenanya jauh dari nilai-nilai Islam. Dalam pandangan Islam, setiap orang punya dua hal, yaitu hak dan kewajiban. Keduanya harus ditunaikan secara seimbang. Seorang prajurit, selain mempunyai hak berupa upah yang layak, sehinga dapat mencukupi kehidupan keluarganya, juga mempunyai kewajiban yang bila diabaikan maka ia digolongkan sebagai pengkhianat.
Para abdi dalem ini mengikuti aturan jenjang kepangkatan yang mencapai sebelas tingkatan, setiap tingkatan ditempuh dalam tempo lima tahun. Dengan demikian, hanya sebagian kecil saja dari mereka yang bisa mencapai seluruh jenjang kepangkatan itu. Karena butuh waktu 55 tahun. Jenjang kepangkatan itu adalah: Jajar, Bekel Anem, Bekel Sepuh, Lurah, Kliwon, Wedana, Riya Bupati Anem, Bupati Anem, Bupati, Bupati Kliwon, dan Bupati Nayaka. 
Ada dua kategori abdi dalem, yaitu Punakawan dan Kaprajan. Abdi dalem Punakawan memiliki tugas pokok harian di lingkungan keraton, sedangkan abdi dalem Kaprajan adalah abdi dalem yang berasal dari pegawai instansi pemerintah, baik yang sudah pensiun maupun yang masih bekerja.  
Dalam bertugas, abdi dalem mengenakan seragam pakaian yang disebut kain pranakan. Warnanya biru tua dengan corak garis vertikal berjumlah tiga dan empat garis. Seragam itu ada sejak 188 tahun lalu saat Sri Sultan Hamengkubuwono V (1820–1855) menciptakan pakaian untuk para abdi. Garis berjumlah tiga dan empat memiliki arti Telupat yang bermakna Kewuluminangka Perpat yang berarti direngkuh dan disaudarakan dalam satu kesatuan di kerajaan. Sifat persaudaraan yang diharapkan adalah persaudaraan sesama abdi dalem dan persaudaraan dengan Sri Sultan.  
Salah satu doktrin yang ditanamkan para Raja (Sultan), bahwa pengabdian para abdi dalem sesugguhnya bukan kepada sosok Raja (Sultan) namun pengabdian itu tertuju kepada sesuatu yang impersonal yang dinamakan kebudyaan. Jadi, abdi dalem adalah abdi kebudayaan. Begitu kata mereka. Ini jelas membodohi. Sebab, budaya atau kebudayaan menurut perspektif antropologi adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia (berupa benda-benda, perilaku, aturan, dan sebagainya). Sebagai sebuah produk yang dihasilkan oleh manusia, maka kebudayaan tidak bisa lepas dari unsur manusianya. Tidak ada manusia,  tidak ada budaya.
Jadi, tetap saja pengabdian para abdi dalem itu tertuju kepada sang Raja (Sultan). Kenyataannya, kehidupan para abdi dalem ketika berada di lingkungan keraton akan sangat tergantung perintah Raja (Sultan), sehingga segala perilaku dan sikap para abdi dalem itu terkontrol oleh Raja (Sultan).
Kalau ‘profesi’ abdi dalem hanyalah sebuah fenomena kebudayaan semata, maka maukah sang Raja (Sultan) berganti peran dengan sang abdi dalem sebagaimana terjadi di sinetro-sinetron? Tidak bisa bukan? Karena Raja tetaplah Raja, dan abdi dalem tetaplah abdi dalem. Anak Raja kelak bisa menjadi Raja, dan sama sekali tidak bisa menjadi abdi dalem. Begitu juga dengan anak abdi dalem, tidak mungkin menjadi Raja, bukan?
Seharusnya, peranan Raja dan abdi dalem seperti ini sudah musnah bersamaan dengan diproklamasikannya negara kesatuan Republik Indonesia. Sampai saat ini masih ada mungkin dukungan politis dari penguasa. Akibatnya, keberadaan  ‘budaya luhur’ yang menjajakan kemusyrikan, kemunkaran, perbudakan dan pelanggaran HAM, tetap terjaga, dihormati, bahkan dibiayai oleh penguasa.
Itu jelas kedhaliman, bahkan persekongkolan kedhaliman. Sedangkan Allah Ta’ala yang menciptakan dunia seisinya ini justruberhati-hati, agar manusia ini takut kepada siksa dari kedhaliman yang tidak hanya menimpa si dhalim saja namun bisa merata.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (25)
Artinya : Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS Al-Anfal: 25).
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya berkaitan, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).
Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.
Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.


Pengikut

Mengenai Saya