TIME
06.43
KEBUDAYAAN KERATON
Keraton atau Kesultanan adalah institusi yang tidak saja melestarikan budaya bangsa yang penuh kemusyrikan dan aneka kemunkaran lainnya, tetapi juga melestarikan budaya bangsa yang dikaterogikan sebagai perbudakan, melalui ‘budaya luhur’ abdi dalem.
Peminat menjadi abdi dalem tidak sedikit. Bahkan harus
ngantri segala. Mereka beranggapan menjadi abdi dalem sebagai pengabdian kepada
Sultan dan Keraton Jogja, selain juga untuk ngalap berkah (mengharap
berkah) mereka merasa keberkahan itu benar-benar menghampiri. Misalnya, salah
seorang abdi dalem yang berprofesi ganda sebagai penjual cendol, sebelum
menjadi prajurit Keraton Jogja mengaku pendapatanya per hari rata-rata Rp
11.000 (sebelas ribu rupiah), namun sejak menjadi prajurit pendapatannya justru
meningkat hingga mencapai Rp 17.000 hingga Rp 20.000 per hari. Begitu
menurut pengakuannya.
Dari sudut pandang Islam, budaya abdi dalem sama
sekali jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, oleh karenanya jauh dari nilai-nilai
Islam. Dalam pandangan Islam, setiap orang punya dua hal, yaitu hak dan
kewajiban. Keduanya harus ditunaikan secara seimbang. Seorang prajurit, selain
mempunyai hak berupa upah yang layak, sehinga dapat mencukupi kehidupan
keluarganya, juga mempunyai kewajiban yang bila diabaikan maka ia digolongkan
sebagai pengkhianat.
Para abdi dalem ini mengikuti aturan jenjang
kepangkatan yang mencapai sebelas tingkatan, setiap tingkatan ditempuh dalam
tempo lima tahun. Dengan demikian, hanya sebagian kecil saja dari mereka yang
bisa mencapai seluruh jenjang kepangkatan itu. Karena butuh waktu 55 tahun.
Jenjang kepangkatan itu adalah: Jajar, Bekel Anem, Bekel Sepuh, Lurah, Kliwon,
Wedana, Riya Bupati Anem, Bupati Anem, Bupati, Bupati Kliwon, dan Bupati
Nayaka.
Ada dua kategori abdi dalem, yaitu Punakawan
dan Kaprajan. Abdi dalem Punakawan memiliki tugas pokok harian di
lingkungan keraton, sedangkan abdi dalem Kaprajan adalah abdi dalem yang
berasal dari pegawai instansi pemerintah, baik yang sudah pensiun maupun yang
masih bekerja.
Dalam bertugas, abdi dalem mengenakan seragam pakaian
yang disebut kain pranakan. Warnanya biru tua dengan corak garis vertikal
berjumlah tiga dan empat garis. Seragam itu ada sejak 188 tahun lalu saat Sri
Sultan Hamengkubuwono V (1820–1855) menciptakan pakaian untuk para abdi. Garis
berjumlah tiga dan empat memiliki arti Telupat yang bermakna Kewuluminangka
Perpat yang berarti direngkuh dan disaudarakan dalam satu kesatuan di
kerajaan. Sifat persaudaraan yang diharapkan adalah persaudaraan sesama
abdi dalem dan persaudaraan dengan Sri Sultan.
Salah satu doktrin yang ditanamkan para Raja (Sultan),
bahwa pengabdian para abdi dalem sesugguhnya bukan kepada sosok Raja (Sultan)
namun pengabdian itu tertuju kepada sesuatu yang impersonal yang dinamakan
kebudyaan. Jadi, abdi dalem adalah abdi kebudayaan. Begitu kata mereka. Ini
jelas membodohi. Sebab, budaya atau kebudayaan menurut perspektif antropologi
adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia (berupa benda-benda,
perilaku, aturan, dan sebagainya). Sebagai sebuah produk yang dihasilkan oleh
manusia, maka kebudayaan tidak bisa lepas dari unsur manusianya. Tidak ada
manusia, tidak ada budaya.
Jadi, tetap saja pengabdian para abdi dalem itu
tertuju kepada sang Raja (Sultan). Kenyataannya, kehidupan para abdi dalem
ketika berada di lingkungan keraton akan sangat tergantung perintah Raja
(Sultan), sehingga segala perilaku dan sikap para abdi dalem itu terkontrol
oleh Raja (Sultan).
Kalau ‘profesi’ abdi dalem hanyalah sebuah fenomena
kebudayaan semata, maka maukah sang Raja (Sultan) berganti peran dengan sang
abdi dalem sebagaimana terjadi di sinetro-sinetron? Tidak bisa bukan? Karena
Raja tetaplah Raja, dan abdi dalem tetaplah abdi dalem. Anak Raja kelak bisa
menjadi Raja, dan sama sekali tidak bisa menjadi abdi dalem. Begitu juga dengan
anak abdi dalem, tidak mungkin menjadi Raja, bukan?
Seharusnya, peranan Raja dan abdi dalem seperti ini
sudah musnah bersamaan dengan diproklamasikannya negara kesatuan Republik
Indonesia. Sampai saat ini masih ada mungkin dukungan politis dari penguasa.
Akibatnya, keberadaan ‘budaya luhur’ yang menjajakan kemusyrikan,
kemunkaran, perbudakan dan pelanggaran HAM, tetap terjaga, dihormati, bahkan
dibiayai oleh penguasa.
Itu jelas kedhaliman, bahkan persekongkolan
kedhaliman. Sedangkan Allah Ta’ala yang menciptakan dunia seisinya ini justruberhati-hati,
agar manusia ini takut kepada siksa dari kedhaliman yang tidak hanya menimpa si
dhalim saja namun bisa merata.
وَاتَّقُوا
فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (25)
Artinya : Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan
yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan
ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS Al-Anfal: 25).
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya,
kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas
antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan
hidup, pendidikan, dan sebagainya berkaitan, bercampur dan hanya membentuk
suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton
tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja yang agung yang
dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga
menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).
Beberapa tarian tertentu,
misalnya Bedaya Ketawang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga
bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan
penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan
magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh
karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan
menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata
kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.
Kebudayaan tersebut diwariskan
dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran
tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada
akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis
lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan
juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra
lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan
membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko
(bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama
Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit,
namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa
yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan
Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara
pemakainya.
Sebagai
sebuah Kesultanan, Islam
merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam
bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap
dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai
ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti
dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang
merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan
untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru
muncul pada 1912
dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman
Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan
puritan itu.